Pedagang dan pengrajin baju batik
pada masa lalu banyak dilakoni oleh kaum perempuan. Kaum perempuan sangat
menguasai cara membuat baju batik tulis. Selain sebagai bahan sandang, baju
batik juga merupakan karya seni yang bernilai tinggi. Pilihan motif dan cara
membuatnya lebih sebagai karya seni.
Lalu sejak kapan kah kaum pria
terlibat dalam urusan membatik? Di daerah pesisir Jawa, pekerjaan membuat batik
tulis justru dikerjakan oleh kaum pria. Baju batik yang dihasilkan oleh kaum
pria ini dipandang memiliki sentuhan maskulin, misalnya contoh kemaskulinannya
dapat dilihat pada corak baju batik mega mendung.
Kerajinan baju batik yang
menyebar dihampir semua daerah di Pulau Jawa menyebabkan masing-masing daerah
memiliki motif baju batik dengan ciri khasnya masing masing. Daerah Yogyakarta
dan Solo, yang hanya terisah jarak sekitar 60 kilo meter saja memiliki ciri
baju batiknya sendiri sendiri. Kalau ditelusuri ke belakang, aan sampai pada
perjanjian Giyanti 12 Februari 1755, yang membagi Kerajaan Mataram Islam
menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasunanan Yogyakarta. Kasultanan Surakarta
dipimpin oleh Pakubuwono III, sedangkan Kasultanan Yogyakarta dipimpin oleh
Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi mendapat nama baru dengan gelar Sri
Sultan Hamengkubuwono I. Susuhunan Pakubuwono III dari Kasunanan Surakarta
memilih latar sogan dan cenderung gelap untuk kain batiknya, sedangkan Sri Sultan
Hamengkubuwono I dari Yogyakarta memilih latar putih sebagai warna dasar kain
batiknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar