Senin, 09 Juni 2014

Baju Batik Yogyakarta dan Solo

Pedagang dan pengrajin baju batik pada masa lalu banyak dilakoni oleh kaum perempuan. Kaum perempuan sangat menguasai cara membuat baju batik tulis. Selain sebagai bahan sandang, baju batik juga merupakan karya seni yang bernilai tinggi. Pilihan motif dan cara membuatnya lebih sebagai karya seni.
Lalu sejak kapan kah kaum pria terlibat dalam urusan membatik? Di daerah pesisir Jawa, pekerjaan membuat batik tulis justru dikerjakan oleh kaum pria. Baju batik yang dihasilkan oleh kaum pria ini dipandang memiliki sentuhan maskulin, misalnya contoh kemaskulinannya dapat dilihat pada corak baju batik mega mendung.

Kerajinan baju batik yang menyebar dihampir semua daerah di Pulau Jawa menyebabkan masing-masing daerah memiliki motif baju batik dengan ciri khasnya masing masing. Daerah Yogyakarta dan Solo, yang hanya terisah jarak sekitar 60 kilo meter saja memiliki ciri baju batiknya sendiri sendiri. Kalau ditelusuri ke belakang, aan sampai pada perjanjian Giyanti 12 Februari 1755, yang membagi Kerajaan Mataram Islam menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasunanan Yogyakarta. Kasultanan Surakarta dipimpin oleh Pakubuwono III, sedangkan Kasultanan Yogyakarta dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi mendapat nama baru dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I. Susuhunan Pakubuwono III dari Kasunanan Surakarta memilih latar sogan dan cenderung gelap untuk kain batiknya, sedangkan Sri Sultan Hamengkubuwono I dari Yogyakarta memilih latar putih sebagai warna dasar kain batiknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar